Senin, 10 Februari 2020

Analisis Isi

Saya ingin mendeklarasikan bahwa saya telah selesai dengan diri saya sendiri. Tak ada yang mengganjal saat ini kecuali saya belum mulai membaca kitab Bulughul Maram yang membahas tentang tema Fiqih Islam. Apabila saya telah membacanya mungkin saya akan lebih tenang dan insya Allah saya akan menulis ringkasannya di blog ini seperti yang sudah-sudah. Saya tahu pengetahuan itu seperti air di lautan. Kalaupun saya gunakan semua waktu saya untuk menggalinya tentu tidak akan pernah habis. Karena itu, saya yakin ada cara yang tepat untuk menggali dan memahaminya secara sistematis. Jadi kita tidak mungkin mengenal semua realitas, bukan saja karena hal itu tidak mungkin, tetapi juga tidak semuanya perlu diketahui. Kita mengetahui sesuai kebutuhan. Seperti biasa, dalam menganalisis isi tulisan, saya pun tidak perlu membahas satu persatu. Bisa jadi saya melakukan satu analisis sisi, dan itu bisa mewakili tema-tema lain yang semakna dengannya.

Baik, sebagai orang yang beragama Islam, saya bukan hanya telah mempelajari perbandingan agama tetapi juga perbandingan aliran yang ada di dalam agama-agama. Jadi inilah yang ingin saya coba bahas ditambah lagi pemikiran-pemikiran yang tidak bisa digolongkan ke dalam agama maupun aliran agama seperti ateisme, agnostisme, tidak beragama, maupun kepercayaan-kepercayaan lain. Dalam membahasnya saya tidak tertarik untuk membahasnya satu persatu, saya menggunakan pendekatan sistematis untuk membedahnya. Sebagai contoh saya tidak membahas satu persatu kepercayaan yang ada di pedalaman Afrika maupun Amerika, cukup dengan melihat dalam satu tema "kepercayaan" dan metodologinya maka secara otomatis saya telah membahas semua kepercayaan itu tanpa membahasnya satu persatu.

Pembahasan pertama, saya memperoleh tulisan dari internet:

Born, dead, and reborn. Isn’t that the nature of this universe? We are recycled from what existed before. Human chronological age might say I probably have another 50 years of life before death. It’s not death that I’m afraid of, but being clueless about what I have to do with those years before. What differs living from dying is the illusion of having a life

Pembahasan: Secara kasat mata kita bisa mengetahui manusia memang dilahirkan kemudian mati, lalu darimana orang bisa tahu apa yang akan terjadi setelah kematian kalau bukan dari agama? Bisakah manusia mengetahuinya dari pikirannya sendiri? Bukankah bila menggunakan pikiran itu hanyalah menduga-duga dan meraba-raba mengenai sesuatu yang tidak pasti? Baik, kita kerucutkan dengan bilang bahwa mau tidak mau, manusia perlu agama untuk menjawab apa yang akan terjadi setelah manusia mengalami kematian, dan ternyata agama-agama yang ada mempunyai penjelasan yang berbeda-beda dalam hal ini. Jadi yang menjadi pertanyaan dalam tulisan itu adalah bagaimana penulisnya bisa mengetahui bahwa setelah manusia mengalami kematian mereka akan dilahirkan kembali? Lalu dilahirkan kembali seperti dalam konsep agama Hindu-Buddha atau agama Kristen-Islam?

Pembahasan kedua, tentang tulisan berikut ini:

They might as well say things like “We all have our own problem. You should feel grateful for there are others less fortunate than you”. Are you insane? How dare you people comparing one life to another, assuming one is more blessed than the other? Am I supposed to feel better knowing there are other people who experience worse than I do? I know I’m stupid, but not enough to be fooled like that. That kind of view might work for people who feels happy seeing others unhappy.

Pembahasan: Membaca ini saya teringat dengan sebuah hadits yang menganjurkan orang agar selalu bersyukur yaitu dengan melihat ke bawah bukan melihat ke atas. Dengan melihat ke bawah orang akan lebih menghargai anugerah yang telah diterimanya. Lain halnya bila orang melihat ke atas maka ia akan membandingkan anugerah yang dimilikinya dengan yang lebih besar sehingga ia akan menganggap anugerah yang dimilikinya menjadi kecil sehinggal hal itu bisa menghalanginya untuk bersyukur. Kita mengenal adanya pelapisan sosial di masyarakat yang menunjukan ada tingkatan di antara orang-orang. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam Islam, semua yang manusia miliki merupakan anugerah dari Allah. Anugerah tersebut bukan ada dengan sendirinya akan tetapi diatur dan ditetapkan oleh Allah sebagai ujian bagi manusia mana diantara mereka yang lebih baik perbuatannya, apakah ia gunakan untuk kebaikan ataukah digunakan untuk kejahatan maka masing-masing dari pilihan itu ada akibat-akibatnya. Jadi jelas dalam Islam semua anugerah adalah ujian, bukan pertanda pemuliaan. Nilai manusia bukan diukur dari anugerah yang dimilikinya -sebab anugerah itu hanyalah ujian- akan tetapi ketakwaannya. Bukan kaya atau miskin yang membuat manusia menjadi mulia melainkan ketakwaannya.

Pembahasan ketiga, mengenai tulisan ini:

They refused to believe in religion when it is more than just metaphors or stories from the past taugh to guide human life ... lacking of proof was his justification … science was used to question things ... if we use science to find the truth it will just lead to another question

Pembahasan: Demikianlah penulisnya bercerita bahwa ia mempunyai dua teman yang mempunyai respon yang berbeda pada isu yang sama, yang satu menolak untuk percaya agama karena menurutnya masih kekurangan bukti, sementara yang lain meragukan kemampuan sains dalam menemukan kebenaran yang hanya akan membawa pada sikap kebimbangan karena tidak mampu menemukan jawaban yang dicari ... Untuk yang pertama itu perlu dirinci yaitu agama mana yang masih lemah dalam pembuktian? Apakah ia sudah mempelajari semua agama sehingga ia dapat menyimpulkan sedemikian itu? Kalaupun sudah meneliti semua agama maka seberapa akurat ia dalam menarik kesimpulan? ... Untuk yang kedua itupun perlu dirinci yaitu bidang mana dari hasil pencarian sains yang melahirkan polemik? Sebagaimana sains telah membuktikan bahwa bumi bulat, maka apakah dianggap bila ada polemik yang mengganggap bumi ini datar? Bila yang dimaksud kebenaran itu di bidang kebenaran agama, maka antara sains dan agama sama-sama berargumen pada fakta, karena itu orang harus bisa membuktikan pertentangan antara sains dengan agama untuk mengetahui mana diantara keduanya yang sesuai dengan fakta ... Kita tidak perlu bertanya apakah sains bisa membuktikan keberadaan Allah karena penulisnya sendiri sudah menyatakan sikapnya I never doubted the Almighty and I believed entirely in the divine destiny yang menunjukan ia adalah seorang yang percaya dengan keberadaan Allah, bahkan ia pun percaya dengan takdir.



Tidak ada komentar: